MASIH DI MINATI - Wahyono saat menata dagangannya di salah satu sudut jalan di Pekalongan.
*Kisah Wahyono Penjual Tape asal Bandar Batang
Berjualan Tape hampir 30 tahun Untuk Bertahan Hidup
Tape bagi Wahyono adalah sandaran hidup, hampir separuh hidupnya tergantung dari hasil jualan makanan khas Indoensia tersebut. Bagaimana kisah hidupnya?
PULUHAN tahun berjualan membuat pria asal Toso Bandar tersebut, paham betul pahit manisnya seorang pedagang keliling. Bahkan dia juga menjadi saksi sejarah dari perkembangan ekonomi di negeri ini, dari perbandingan penghasilan dan harga jual dulu dengan sekarang.
Kakek 6 orang anak, 2 cucu yang berumur kurang lebih 60 tahun tersebut, berjualan tape berkeliling disekitaran Kota Pekalongan. "Kalau capek saya berhenti di tempat tertentu yang ramai untuk istirahat. Kadang malah banyak yang beli dibandingsaya harus keliling menjajakan tape," ungkapnya.
Diceritakan, awal berjualan tape harga satu bungkus yang saat ini dijual Rp1 ribu, dulu dijual hanya Rp5 saja, dengan isi dan ukuran tape yang sama. "Saya mengikuti harga pasar dan menyesuikan dengan modal yang saya keluarkan. Juga kenaikan harganya bertahap, disesuaikan dengan zaman," tuturnya.
Dalam membuat tape, Wahyono bekrjasama dengan istri tercintanya. Bahan baku tape beruapa ketela pohon didapat dengan membeli langsung kepada tetangganya. Dengan cara beli borongan satu kebun.
"Saya memanen dan mengangkutnya bersama keluargakerumah, rata-rata dalam satu kebun dapat lebih 10 pikulan atau 5 kwintal. Kalau dulu satu kebun kami cuma membayar Rp50 ribu, sekarang harus bayar Rp550 ribu per kebun, bedanya cukup jauh," terangnya.
Pengolahan ketela menjadi tape tidak dikerjakan sekaligus untuk semua ketela yang dibeli. Setiap kali proses hanya untuk setengah kwintal saja. Dijual sampai habis baru buat lagi, dan seterusnya sampai bahan baku habis. "Saya pulang setiap 2 atau 3 hari sekali, dengan membawa setengah kwintal tape matang dan setengah matang. Kalau habis saya pulang dan ke Pekalongan lagi," tuturnya.
Untuk keuntungannya menurutnya cukup lumayan, karena dengan berjualan tape sudah bisa mengetas semua anakknya samapi sudah berkeluarga semua. "Hasil berapapun saya syukuri mas. Namanya jualan kadang laris kadang juga sepi. Namun saya rasa tape samapi kapanpun banyak orang yang akan suka," ujarnya semangat.
Disinggung masalah tempat tinggal saat di Pekalongan, pria renta yang masih kuat memanggul daganganya itu mengungkapkan, dulu awal di Pekalongan dirinya tidur di tempat teman yang berjualan roti di Jalan Hayam Wuruk. Karena toko rotinya tutup, sudah sejak beberapa tahun belakangan dia tidur di Masjid Agung. Semoga kisah sederhana ini bisa mengispirasi kita untuk tetap bekerja keras apapun usaha kita. (Bunda Manis)
0 komentar
Posting Komentar